Picture from; community.com
Kita bertemu mereka disetiap sudut jalan. Kita melewati mereka dengan kecepatan tinggi, hanya supaya kita tidak usah memerhatikan mereka, jadi kita melewatkan memikirkan mereka. Ataupun, bila kita terpaksa berpapasan dengan mereka, kita mengibaskan tangan, dan menolak menatap mata mereka. Kita tidak ingin merasakan mereka, karena merasakan mereka adalah merasakan kepedihan. Dan kita tidak mau merasa pedih, kita mau merasa senang senang saja.
Pengemis dan anak anak jalanan kita jumpai setiap hari, disetiap sudut kota, ya, disudut sudut , karena mereka adalah penghuni sudut sudut kota yang gelap. Cobalah tatap mata mereka sekali sekali, pandang dalam dalam jendela hati mereka, rasakan kepedihan hidup mereka, rasakan kemarahan karena mereka terpinggirkan, bukan karena pilihan mereka, melainkan karena memang keadaaannya begitu.
Jangan cuma melihat tangan mereka yang meminta, sapa mereka, paling tidak, tanya keadaan mereka, mereka akan menyediakan daftar keluhan panjang, yang tidak ingin kita dengarkan. Buat apa menambah kesusahan, ya, kesusahan kita sendiri sudah cukup banyak, buat apa menambah kesulitan lain.
Tapi lihat mereka sebagai kesempatan untuk menolong, kesempatan untuk memberi, kalau mereka tidak ada, dan kita mau memberi, kepada siapa harus memberi?
Saya jarang memberikan mereka uang. Dimobil atau di dalam tas selalu saya sediakan permen permen kecil atau cokelat cokelat kecil yang bisa saya berikan begitu mereka menadahkan tangan, karena saya tau, uang pemberian kita hanya akan berakhir ditangan para bos bos mereka, dan digunakan bukan untuk kepentingan mereka. Dimata para bos, mereka cuma alat, bukan nama. Paling tidak, mereka bisa menikmati sesuatu yang manis, ditengah kehidupan pahit mereka.
Kadang, ketika baru membawa pulang makanan atau buah buahan saya berikan mereka apa yang saya beli, dan menikmati riuh kegirangan mereka.
Saya berikan mereka buku dan alat tulis, tanpa perlu bertanya apakah mereka perlu atau tidak, saya berharap buku dan alat tulis bisa menaikkan kerinduan mereka akan pendidikan.
Saya sempatkan bertanya, apakah mereka sekolah, dimana rumah mereka, dimana orang tua mereka, dan pertanyaan pertanyaan semacam itu, mencairkan suasana, membuat mereka dihargai sebagai manusia juga yang patut diajak bicara, bukan tangan yang meminta semata. Paling tidak, kalau saya terburu buru, saya berikan sambil melempar senyum, dan bilang, ini, ini, dibagi bagi ya, sama kawan kawan lain,......
Kita semua terhubung satu sama lain, hari ini mereka ada disudut jalan, hidup tidak pasti, bisa saja esok hari, kita yang berada ditempat mereka, bisa saja tangan kita yang meminta. Lagi pula, bukankah kita selalu meminta minta? Lalu apa bedanya kita dengan mereka?
Luangkan waktu, lihatlah kedalam mata mereka, sapa mereka, tolong mereka, berikan setiap kali mereka minta, tidak usah memikirkan pemberian itu akan digunakan buat apa, itu urusan mereka. Urusan kita adalah memberi sedikit perhatian dan kesenangan, kalau kita tidak bisa memberi mereka perlindungan ataupun tempat tinggal, apalagi pendidikan.
Sebut mereka dalam setiap doa, jangan hanya mendoakan diri sendiri atau keluarga saja, mereka juga anak anak saudara kita yang kurang beruntung.
Kita yang beruntung diberi keleluasaan sudah sepatutnya memberikan rejaki kita kepada mereka. karena rejeki kita bukanlah hak kita sepenuhnya, ada hak hak mereka juga dalam setiap rejaki yang kita nikmati.
Rejeki kita adalah titipan, hari ini dititipkan kepada kita, mana tau besok diberikan kepada mereka? Mungkin tidak dalam kehidupan ini, tapi siapa tau dalam kehidupan berikutnya?