Tampilkan postingan dengan label People. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label People. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2011

The journey of the soul.

Picture from; Johnofgodbrazil.


"We all are trying to use illness to learn something that is unique to our particular situation. Whatever happen , it is not about the healing,

the phenomenon, or the healer, it is a shift that happens to us

internally, spiritually or psychologically.

Perhaps, the real heart within us is not just a pump,

perhaps the real heart within us is about faith and love,

perhaps the physical body is not who we really are,

perhaps we are these invisible souls walking around,

and the body is just an instrument to metaphor for

something we are trying to learn."


(Dr Jeff Rediger on Oprah )

Senin, 19 September 2011

Memaafkan dan kebebasan.

Picture from; Booksby Mandela.


Bill Clinton menceritakan kisah tentang Mandela ini, pada bukunya,

'How to let go the unresolved conflict'.

Seluruh dunia memandang dengan takjub ketika peristiwa bersejarah terjadi di Afrika Selatan. Mandela keluar dari sel penjaranya dengan tenang, gagah dan berwibawa. Dalam hati, saya sering bertanya tanya, bagaimana perasaannya setelah 27 tahun berada dalam penjara?

Lama setelah itu, saya mempunyai kesempatan untuk menanyakan hal tersebut kepada beliau. Apakah beliau masih menyimpan kemarahan bila mengingat semua kekerasan, penghinaan, dan penganiayaan yang dilakukan lawan lawan politik beliau selama beliau dalam penjara?


Beliau menjawab, " Ya, memang ada rasa marah, dan ada rasa takut, karena kehilangan kebebasan sekian lama,akan tetapi, ketika saya telah melangkahkan kaki saya keluar dari penjara, dan tetap memendam amarah pada mereka, itu berarti bahwa saya mesih terpenjara oleh mereka. karena saya ingin benar benar bebas seutuhnya, maka saya tinggalkan amarah itu dibelakang, dan memaafkan semua yang terjadi..... ..." Jawab beliau dengan tersenyum.

Sebuah jawaban yang mencerminkan kebesaran jiwa yang mengerti tentang hubungan antara memaafkan dan kebebasan.


Kemarahan ada didalam diri kita sendiri, bukan pada orang lain yang membuat kita marah. Orang lain itu hanya penyebab . Tapi kita memilih sendiri, marah atau tidak.




Sabtu, 10 September 2011

Anak anak jalanan.

Picture from; community.com

Kita bertemu mereka disetiap sudut jalan. Kita melewati mereka dengan kecepatan tinggi, hanya supaya kita tidak usah memerhatikan mereka, jadi kita melewatkan memikirkan mereka. Ataupun, bila kita terpaksa berpapasan dengan mereka,  kita mengibaskan tangan, dan menolak menatap mata mereka. Kita tidak ingin merasakan mereka, karena merasakan mereka adalah merasakan kepedihan. Dan kita tidak mau merasa pedih, kita mau merasa senang senang saja.

Pengemis dan anak anak jalanan kita jumpai setiap hari, disetiap sudut kota, ya, disudut sudut , karena mereka adalah penghuni sudut sudut kota yang gelap. Cobalah tatap mata mereka sekali sekali, pandang dalam dalam jendela hati mereka, rasakan kepedihan hidup mereka, rasakan kemarahan karena mereka terpinggirkan, bukan karena pilihan mereka, melainkan karena memang keadaaannya begitu.
Jangan cuma melihat tangan mereka yang meminta, sapa mereka, paling tidak, tanya keadaan mereka, mereka akan menyediakan daftar keluhan panjang, yang tidak ingin kita dengarkan. Buat apa menambah kesusahan, ya, kesusahan kita sendiri sudah cukup banyak, buat apa menambah kesulitan lain.
Tapi lihat mereka sebagai kesempatan untuk menolong, kesempatan untuk memberi, kalau mereka tidak ada, dan kita mau memberi, kepada siapa harus memberi?

Saya jarang memberikan mereka uang. Dimobil atau di dalam tas selalu saya sediakan permen permen kecil atau cokelat cokelat kecil yang bisa saya berikan begitu mereka menadahkan tangan, karena saya tau, uang pemberian kita hanya akan berakhir ditangan para bos bos mereka, dan digunakan bukan untuk kepentingan mereka. Dimata para bos, mereka cuma alat, bukan nama. Paling tidak, mereka bisa menikmati sesuatu yang manis, ditengah kehidupan pahit mereka.
Kadang, ketika baru membawa pulang makanan atau buah buahan saya berikan mereka apa yang saya beli, dan menikmati riuh kegirangan mereka.
Saya berikan mereka buku dan alat tulis, tanpa perlu bertanya apakah mereka perlu atau tidak, saya berharap buku dan alat tulis bisa menaikkan kerinduan mereka akan pendidikan.
Saya sempatkan bertanya, apakah mereka sekolah, dimana rumah mereka, dimana orang tua mereka, dan pertanyaan pertanyaan semacam itu, mencairkan suasana, membuat mereka dihargai sebagai manusia juga yang patut diajak bicara, bukan tangan yang meminta semata. Paling tidak, kalau saya terburu buru, saya berikan sambil melempar senyum, dan bilang, ini, ini, dibagi bagi ya, sama kawan kawan lain,......
Kita semua terhubung satu sama lain, hari ini mereka ada disudut jalan, hidup tidak pasti, bisa saja esok hari, kita yang berada ditempat mereka, bisa saja tangan kita yang meminta. Lagi pula, bukankah kita selalu meminta minta? Lalu apa bedanya kita dengan mereka?

Luangkan waktu, lihatlah kedalam mata mereka, sapa mereka, tolong mereka, berikan setiap kali mereka minta, tidak usah memikirkan pemberian itu akan digunakan buat apa, itu urusan mereka. Urusan kita adalah memberi sedikit perhatian dan kesenangan, kalau kita tidak bisa memberi mereka perlindungan ataupun tempat tinggal, apalagi pendidikan.
Sebut mereka dalam setiap doa, jangan hanya mendoakan diri sendiri atau keluarga saja, mereka juga anak anak saudara kita yang kurang beruntung.
Kita yang beruntung diberi keleluasaan sudah sepatutnya memberikan rejaki kita kepada mereka. karena rejeki kita bukanlah hak kita sepenuhnya, ada hak hak mereka juga dalam setiap rejaki yang kita nikmati.
Rejeki kita adalah titipan, hari ini dititipkan kepada kita, mana tau besok diberikan kepada mereka? Mungkin tidak dalam kehidupan ini, tapi siapa tau dalam kehidupan berikutnya?

Kamis, 25 Agustus 2011

Pak Karso.

Picture from; Kompasiana.com.




Pak karso adalah tukang sampah yang setiap hari berkeliling komplek perumahan kami semenjak 15 tahun lalu. Selain mengambil sampah rumah tangga, pak karso juga menyapu jalan dan membersihkan selokan. Pokoknya, kebersihan lingkungan tempat tinggal kami adalah tanggung jawab pak karso. Pada mulanya, saya sering kesal, karena untuk ukuran seorang tukang sampah, pak karso jarang datang, masak, mengambil sampah dan membersihkan lingkungan cuma 3 hari sekali. Itupun termasuk bagus, kadang ia pulang kampung, dan baru kembali seminggu sesudahnya. Bisa dibayangkan bau sampah menumpuk, dan jalanan yang kotor merusak pemandangan. Yang membuat saya tambah kesal, ia sering meminjam uang ke kas erte, ada ada saja keperluannya, tapi pinjaman terbesar biasanya untuk keperluan sekolah anaknya, katanya. Kadang, saya kasihan melihat ia diam saja, tidak protes ketika gaji kecilnya dipotong pinjamannya. Tapi kekesalan saya melebihi rasa kasihan saya, karena kami semua terpaksa keluar uang extra untuk menyuruh orang lain membersihkan sampah dan jalan, setiap kali pak karso mangkir.Mau memberhentikan, kami semua tidak tega, begitulah , bertahun tahun kami terobang ambing antara rasa kesal dan kasihan kepada pak karso. Beberapa tahun lalu, pak karso lagi lagi sepeti biasa minta cuti lagi, kali ini katanya mau menghadiri wisuda anaknya yang nomer dua, yang bungsu.O, sudah kelar sekolahnya? tanya saya setengah kesal, karena sudah terbayang sampah yang bakal menggunung lagi. Ya bu, ini yang terakhir,...katanya pelan. Nah, anehnya, setelah itu, ia rajin masuk, tiap hari tidak pernah absen! Anak saya sudah kerja, katanya, yang besar sudah jadi guru , yang kecil juga sudah kerja, katanya dengan nada gembira.


Karena rajin masuk itu, maka banyak orang lain yang membarikannya kerja tambahan, dari tukang sampah erte kami, ia mulai juga menjadi tukang sampah erte erte tetangga. Anehnya, makin banyak pekerjaan, ia menjadi makin rajin, masuknya makin lama makin pagi, pulangnya makin sore, karena ada ada saja yang menyuruhnya memotong pohon, membersihkan halamannya dll dll. Bertahun tahun ia menjadi makin rajin, rasa kesal sayapun berganti menjadi simpati, setelah tahun bahwa hanya denga menjadi tukang sampah saja, ia berhasil meluluskan anak anaknya ke perguruan tinggi. Tidak hanya anak anak nya saja yang ia sekolahkan, tapi juga para keponakannya dan para keponakan istrinya.


Ia jarang mangkir, karena sekarang, menelpon dan mengirim uang kekampungnya sudah jauh lebih mudah. Tadi pagi, ia minta pinjaman uang lagi. Habis bagaimana bu, saya tidak punya uang, terpaksa pinjam erte tambahan buat uang masuk sekolah keponakan isteri saya lagi, ada yang putus sekolah lagi, orang tuanya sudah tidak sanggup lagi membiayai,... anak sekarang kan bu, kalau tidak sekolah kan bagaimana gitu,....lagipula bu,...saya tidak punya simpanan, simpanan saya ya buat akherat saja bu, menyekolahkan sebanyak banyaknya yang saya bisa,.....


Saya memandangi pak karso, sudah limabelas tahun saya mengenalnya,sudah belasan kali ia menghadap minta pinjaman uang, tapi kali ini, saya merasa kecil dihadapan pak karso,.... seseorang yang sudah punya simpanan banyak diakherat,....


Senin, 22 Agustus 2011

Emak Hoe.

Picture from; Gettyimages.




Emak duduk dimuka jendela, memandang keluar, menghela nafas, lalu berkata, anakku sepuluh, ya sepuluh, semua dilahirkan dirumah kecil ini, dengan pertolongan bidan saja, bahkan yang nomer lima itu, karena bidan terlambat datang,sekarang jadi agak bodoh,...mak tertawa kecil, menunjuk anaknya yang nomer lima itu,...malahan kulitnya hitam, tidak seperti saudara saudara lainnya yang putih, sakit sakitan pula,......... mak tertawa kecil lagi,...


kusekolahkan semua anak anak dengan berjualan kue, sampai lulus semua, lalu masing masing bekerja, macam macam lah, ada yang berjualan gorden, kosmetik, makanan, ada yang bekerja di apotek, ada yang membuat roti, ... mak menghela nafas lagi,... setelah terkumpul uang, satu persatu mereka pergi dari kampung kecil ini,... ada yang kekota besar, bahkan banyak yang keluar negeri, ke amerika, ke australia, ke kanada,... semua pada pergi mencari peruntungannya sendiri sendiri, mencari masa depan yang lebih pasti, daripada di kampung kecil ini,.....


Setahun sekali, tiap menjelang tahun baru, mereka mengirimkan uang, untuk keperluan mak disini,...tapi mereka tidak pernah datang sendiri,.. tak apalah, asal mak tau mereka sudah senang, mak juga ikut senang,...lagipula, dikota besar, apalagi diluar negeri, mana mereka punya waktu untuk kesini,.... makan waktu lama, dan banyak beaya untuk datang kesini,....mata mak meamandang jauh, seakan menembus hujan yang mungkin turun juga di tempat tempat jauh seperti disebutkannya,....


Langit cukup adil dan baik kepada mak, lihat si nomer lima ini, dari kecil agak bodoh, sehingga tidak bisa sekolah tinggi seperti saudara saudaranya, tidak bisa bekerja terlalau lama, dia pusing kepala,....jadi, tinggalah dia disini bersama mak,... kulitnya yang gelap membuat tidak ada yang melirik, dia tidak menikah,...... dulu mak selalu khawatir dengan perkembangannya, mak selalu khawatir, si nomer lima tidak punya jodoh, mak sembahyang terus, tapi untunglah,... doa doa mak tidak terkabul,.... mak tersenyum, matanya bercahaya ,...kalau tidak, tak tahulah mak, siapa yang merawat mak diusia mak yang tua ini,.... mak tersenyum lagi,.....sekarang cuma kami berdua yang tinggal dirumah kecil yang tidak berubah, sekeliling rumah sudah jadi pabrik yang berisik, tapi biarpun di bujuk bujuk untuk menjualnya, mak tidak akan menjual rumah kecil ini,.... mak mau mati disini,........mak tersenyum menatap mataku,...


makanya nak,... tidak usah kuatir kalau doa doa tidak terkabul, Langit pasti punya maksud dan rencananya sendiri,... lihat mak ini, justru si nomer lima yang paling mak cemaskan masa depannya, sekarang jadi penopang mak, kaki dan tangan mak,... Langit memang punya rencananya sendiri nak,...setelah lima puluh lima tahun berlalu, mak baru tau maksud baik Langit,....


Minggu, 10 Juli 2011

Pak dan bu Jatim.

Picture; From Gettyimages.




Dekat rumah saya ada sebuah warung nasi kecil yang dimiliki oleh sepasang suami istri yang sudah sepuh. Menurut pengakuan mereka, usia mereka 80 tahunan. Dan mereka telah mengelola warung nasi sejak itu sejak 40 tahun yang lalu. Menurut saya sih, harga harga di warung nasi mereka agak mahal dibanding warung warung lainnya. Tidak heran, karena, jika pemilik warung nasi lain berbelanja sejak subuh ke pasar induk demi harga yang murah, pak dan bu jatim, demikian nama mereka yang saya kenal, berbelanja di tukang tukang sayur yang lewat saja, yang tentu saja lebih mahal dari pasar induk. Mereka melakukan itu, karena sudah sepuh dan tidak punya energi untuk ber lelah lelah ke pasar induk pada subuh hari. Biarpun agak mahal, namun jualan mereka laris dan selalu laku. Saya bayangkan tentunya keuntungan yang mereka peroleh lumayan, mengingat semua hanya mereka kerjakan berdua saja, tanpa pembantu.


Saya pernah menyarankan kepada pak dan bu jatim utnuk mengambil tenaga pembantu, tapi kata mereka, semua sudah biasa dikerjakan sendiri, dari jaman doeloe, semua juga dikerjakan sendiri. padahal sekarang mereka sudah sepuh dan bungkuk. Juga, pernah saya sarankan mereka membeli kulkas, supaya bisa menyimpan bahan makanan dan sisa makanan yang tidak habis terjual, tapi mereka bilang, 'ah, kulkas mah, barang mahal, ndak terbeli bu,....'


Melihat mereka menanak nasi masih menggunakan dandang dan kukusan, saya menyarankan mereka membeli rice cooker untuk mempermudah pekerjaan mereka, tapi pak dan bu jatim bilang, 'ah, bu, rice cooker mah masaknya sedikit sedikit, gak bisa sekaligus banyak,...'


Saya pikir, pak dan bu jatim adalah produk jaman doeloe, yang beranggapan bahwa kulkas dan rice cooker adalah barang mewah,yang hanya bisa dimiliki oleh orang orang kaya, mereka tidak tahu, bahwa sekarang, kulkas dan rice cooker sama seperti hand phone yang bisa dimiliki oleh segala kalangan. Pak dan bu jatim hidup pada jamannya saja, yaitu jaman doeloe, tidak tahu bahwa jaman telah berubah.




Pak dan bu jatim mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Saya sering mengeluh, kenapa sekarang begitu banyak mall, sehingga orang berekreasi hanya dengan melewatkan waktu dengan berbelanja dan berbelanja. Kenapa jalanan begitu macet, kenapa begitu banyak kendaraan, kenapa udara menjadi begitu panas, kenapa pemandangan di puncak penuh dengan perumahan dan spanduk, kenapa sekarang pulang kerja menjadi larut malam dan macam macam kenapa, kenapa dan kenapa. Saya, seperti juga pak dan bu jatim tidak bisa menerima kenyataan bahwa sekarang memang demikian. Kenyataan yang ada sekarang harus bisa diterima, sayalah yang harus mengubah pandangan saya, bukannya mengeluhkan keadaan sekarang dan merindukan masa lalu. Pak dan bu jatim bagaikan cermin bagi saya, yang masih hidup dimasa lalu, dan susah menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang.

Daripada terus mengeluh, saya harus menerima kenyataan bahwa, inilah sekarang, dan inilah yang terbaik, tanpa harus membandingkan dengan masa lalu.


Kamis, 16 Juni 2011

Setandan pisang

Picture: From sevillapictures.com


Wan adalah putera ke 3 dari sebuah keluarga tuan tanah cina di tahun 1920an. Orang tua wan memiliki tanah dan kebun yang luas didaerah suradita, tangerang, yang disewakan kepada penduduk setempat. Karena kedua kakaknya sudah menikah dan sibuk dengan tokonya masing masing sehingga tugas wan lah yang untuk memeriksa kebun dan tanah mereka sehari hari, selain juga menarik uang sewa dari para penyewa tanah mereka.

Satu hari, kedua orang tua wan menjodohkan wan dengan seorang perempuan dari keluarga kenalan mereka, karena dianggap sudah waktunya bagi wan untuk berkeluarga. Meskipun terlihat enggan dan ogah ogahan, wan tidak berani membantah keinginan orang tuanya, terutama ibunya yang paling ia hormati.Maka, diadakanlah pesta perkawinan besar besaran selam beberapa hari dengan segala kemeriahannya. Dan sesudahnya, wan dan istri barunya tinggal dirumah yang telah disediakan, disebelah rumah orang tuanya. Ibu wan begitu gembira ketika beberapa bulan sesudahnya, terlihat isteri wan sudah mulai mengandung.


Satu sore, seperti biasa wan pulang dari berkeliling seharian ditanah dan kebun keluarga. Seperti biasa juga, wan membawa sedikit hasil panen atau oleh oleh dari kebun mereka. Hari itu wan membawa setandan pisang, dan memberikannya kepada ibunya. Setelah itu wan pulang kerumahnya. Ketika ibunya hendak memotong setandan pisang itu, tiba tiba ibunya melihat, bahwa sisir pisang yang paling atas, atau yang terbesar dan terbaik, sudah tidak ada. Sudah ada bekas dipotong. Ibunya bertanya tanya dalam hati, kemana sesisir pisang yang terbaik hari itu? Karena biasanya, hasil panen terbaik selalu diberikan kepada orang yang paling dicintai dan dihormati, dalam hal ini, tentu saja, kepada ibunya. Jika sisir pisang terbaik tidak diberikan kepada ibunya, tentulah diberikan kepada orang yang lebih dicintai dan lebih dihormati dari ibunya sendiri. Tapi, siapa orang itu? Karena hatinya terus diliputi rasa ingin tahu, ibunya wan mulai menyelidiki dari berbagai sumber.

Akhirnya setelah beberapa lama, diketahuilah, bahwa, sudah lama wan menjalin kasih dengan puteri salah seorang penyewa tanah mereka. Bahkan diketahui juga bahwa wan sudah punya seorang anak dari hubungan tersebut. Wan tidak berani memberi tahu dan memperkenalkan kekasih dan anaknya kepada ibunya karena tahu, pasti ditolak, karena status keluarga yang tidak seimbang.

Sesisir pisang terbaik itu, rupanya diberikan wan kepada kekasih dan anaknya.


Beberapa waktu setelah melahirkan, istri resmi wan minta cerai, dan wan leluasa untuk menjadikan kekasih dan anaknya sebagai keluarganya yang sah. Mereka punya 7 anak lainnya, dan hidup bahagia sampai tua.













Rabu, 01 Juni 2011

Niang tak mau berhenti.

Picture; From Reygallery.


Niang adalah panggilanku pada ibuku.

Niang selalu berbicara dengan dirinya sendiri dengan suara keras, tidak memberikan tempat bagi suara lain masuk dalam hidupnya.

Memang niang selalu rajin kegereja, tiap jumat, sabtu dan minggu, niang tidak pernah absen mengikuti berbagai ritual Niang juga rajin pergi keberbagai tempat ziarah terkenal, tapi hal itu tidak meyurutkannya untuk menyuarakan suaranya sendiri, tidak peduli kata para pemuka gereja, tidak peduli apa kata para pembimbing, niang selalu punya pendapatnya sendiri, dan tidak ragu untuk mengutarakannya.

Selain tidak berhenti menyuarakan pendapatnya, niang juga tidak berhenti berjalan mengikuti kakinya yang membawanya kesegala pelosok.

Setiap hari dalam seluruh hidupnya niang tidak pernah berhenti melangkahkan kakinya.

Dengan naik kendaraan umum, setiap hari niang berjalan dari satu pasar ke pasar lain, dari satu tempat keramaian ke tempat keramaian lain, dari satu negara ke negara lain.

Bisa dikata, seumur hidupnya niang sudah menjelajah kesegala kota besar diseluruh dunia. Niang hanya berjalan jalan, tanpa belanja, tanpa berhenti,tanpa mengamati, hanya berjalan mengikuti kata hatinya untuk berjalan dan bersuara mengutarakan pendapatnya sendiri, tanpa perlu mendengar jawab atau atau menunggu tanggapan yang mendengar.

Niang melewati ribuan etalase pertokoan tanpa harus masuk, melewati ribuan restoran tanpa pernah tergoda untuk singgah, bagi niang cukup sebotol minuman yang selalu dibawanya, dan setangkup roti atau kue menemani perjalanannya.

Tanpa memperhatikan makanan dan penampilannya, tidak heran niang sering disangka tunawisama dan sering mengundang belas kasihan orang yang melihatnya. Mereka menawarkan makanan, minuman, tumpangan bahkan tempat berteduh. Niang menampik sinis semua tawaran baik orang dan melanjutkan langkah kakinya.

Kadang niang bersepeda juga. Laju sepedanya meliuk liuk menyeramkan bagi yang melihatnya, tapi tidak bagi niang sendiri, niang terus saja melaju, membuat semua orang menahan nafas melihatnya.

Menyebrang jalan adalah salah satu kegembiraan lain bagi niang.

Niang tidak pernah lewat jembatan penyebrangan, niang menundukkan kepalanya, dengan mata setengah terpejam, niang melangkah menyebrang jalan selebar apapun, seramai apapun, dimanapun.

Banyak mobil mendadak mengerem sampai mencicit, orang berteriak menahan nafas, tapi niang selalu selamat sampai keseberang, dan tersenyum senang, seperti telah memenangkan suatu pertandingan.

Seumur hidupnya niang tidak pernah diserempet apalagi ditabrak karena cara menyebrangnya yang nekad itu.

Paling paling lecet kecil kecil karena jatuh ketika lompat dari bis yang berlari kencang, atau lututnya luka karena terperosok kedalam lubang jalan, ya,.. cuma luka luka kecil yang cepat sembuhnya.

Setelah berjalan tanpa henti, tanpa lelah, tanpa tujuan, tanpa pernah sakit, tanpa pernah lelah, satu waktu diusianya yang ke 87 tahun, kaki niang tiba tiba tidak mau diajak melangkah lagi.

Niang ribut bukan kepalang, berteriak teriak menyuruh kakinya melangkah mengikuti kemauan hatinya, tapi kedua kakinya diam saja.

Niang terpaksa mau duduk dikursi roda. Tapi, dikursi rodapun niang tidak bisa diam, minta didorong jalan jalan, atau bergeser kian kemari.

Sejak kakinya mogok tidak mau diajak jalan, siang ataupun malam niang tidak pernah lagi tidur barang sekejappun. Kalau siang niang minta jalan jalan, maka malam hari niang mengamuk. Menggeser geser perabotan, bahkan lemari. Dokter yang datangpun heran, obat penenangnya tidak bereaksi sama sekali, niang tetap tidak mau diam dan terus berteriak teriak. Bahkan beberapa kali niang terjatuh karena tidak mau diam, herannya, meskipun luka, niang seakan tidak merasa,...'tidak sakit' katanya, padahal luka dikepalanya cukup parah bagi orang seusianya.

Dokter bilang, mungkin ada 'sesuatu' yang harus niang lepaskan.

Maka didatangkanlah beberapa kali orang orang 'pintar'.

Biarpun mereka tidak saling kenal satu sama lain, dan datang berlainan waktu, mereka semua bilang hal yang sama, niang sakti!

Niang punya pegangan, pelindung, susuk, yang hebat nan sakti!

Tentu saja aku terkejut bukan alang kepalang mendengar hal ini, antara percaya dan tidak . Tapi setiap kali satu ritual diadakan, ada yang hilang dari diri niang. Pertama kali diadakan pengusiran, tiba tiba saja niang tidak bisa lagi duduk, dan tidur saja diranjang.

Tidur saja diranjang tidak membuat niang berhenti bersuara, bahkan semakin keras dan ngawur, ngaco. Orang kedua yang mengadakan pengusiran, membawa daun kelor yang ketika diminumkan, tiba tiba saja niang bersuara pelo, seperti anak kecil baru belajar bicara.

Tapi, pelo ataupun tidak, tidak menyurutkan niang untuk tetap bersuara dan membelalakan matanya kian kemari.

Pengusiran berlanjut beberapa kali, seperti membuka lapis demi lapis kesaktian niang. Ada yang berupa asap , ada yang berupa logam kuning, ada yang seperti bayangan hitam. Aku makin terheran heran dengan kenyataan ini, suatu hal yang sama sekali bahkan terpikirpun tidak.

Setelah dua minggu tidur saja, tiba tiba niang menghembuskan tiga nafas panjang terakhirnya, dan berhenti bernafas. Orang orang ramai menangis dan membaca doa, tapi dokter yang memeriksa bilang, meskipun sudah tidak bernafas, tidak ada denyut nadi, jantung niang masih berdetak! Kami semua menunggu. Dan menunggu. Meskipun badannya sudah dingin, tapi tidak kaku kaku, meskipun bola matanya tidak bereaksi lagi terhadap cahaya, tapi tidak pudar pudar. Niang tidak mati mati. Dokter bingung, apalagi kami.

Tiga hari kami menunggu kapan jantung niang mau berhenti berdetak, dan pada hari ketiga, jantung niang benar benar berhenti. Dokter menyatakan bahwa niang sudah mati.

Ketika kami kremasi, salah satu orang pintar yang pernah datang, menelpon kami, katanya, masih ada logam berenergi yang ketinggalan dikepala niang, coba di cek di abu pembakarannya.Tapi aku tidak mau mencek kebenarannya, biarlah itu menjadi misteri yang dibawa niang sendiri, tanpa aku, kami semua pernah mengerti,kapan, kenapa, dan buat apa, niang memasang semua penangkal itu dalam dirinya.

May her soul rest in peace.

(Niang, 1924-2011)