Jumat, 26 Agustus 2011

Pohon pohon.

Picture from network.com.


Setiap pagi, ketika berjalan jalan, saya selalu terpesona melihat pohon pohon besar yang sudah tumbuh sekitar 50 tahun . Ada masa masa dimana pohon pohon itu ditebangi, karena warga takut pohon pohon itu roboh kena angin kencang, karena pohon pohon itu sudah tua, tetapi yang menakjubkan, pohon pohon itu selalu tumbuh dan bersemi kembali, besar kembali seperti semula, bahkan lebih rimbun dari sebelumnya. Dibawah keteduhan pohon pohon itulah para pejalan kaki melepaskan penatnya barang sejenak setiap hari. Keteduhan pohon pohon itu adalah hiburan bagi mereka.

Pohon pohon itu juga adalah tempat tinggal bagi ratusn burung burung yang berkicau setiap subuh hari, memberi salam kepada hari yang akan lewat, ratusan burung burung itu memberi kebahagiaan bagi semua warga penghuni.

Hidup selayaknya tumbuh seperti pohon pohon itu. Menyerap energi matahari untuk bertumbuh, tidak takut akan hujan badai, berhembus kemana angin meniupnya,berkawan dengan awan yang lewat, ceria ketika pagi datang, tenang ketika malam menyapa.

Hidup selayaknya tegar seperti pohon pohon itu, teguh kerakar kedalam, bergembira maupun mengeluh dalam diam, tetap tumbuh pelan pelan,menyambut gembira setiap musim yang datang, musim semi, musim panas, musim hujan, maupun musim rontok.

Hidup selayaknya ramah seperti pohon pohon itu, memberikan keteduhan bagi siapa saja yang lewat, menjadi kediaman bagi burung burung dan ratusan serangga kecil.

Hidup selayaknya hening seperti pohon pohon itu, tanpa bersuara terus tumbuh keatas maupun kedalam, membiarkan ribuan daun daun bersuara gemerisik ditiup angin, membiarkan bunyi serangga dan burung berkicauan, dan dahan berderit derit gembira diayun angin.

Hidup selayaknya meniru pohon pohon itu, karena kita tinggal dan tumbuh ditanah yang sama, kenapa kita banyak mencela, sedangkan pohon pohon itu terus bersyukur dan selalu ceria?

Kamis, 25 Agustus 2011

Pak Karso.

Picture from; Kompasiana.com.




Pak karso adalah tukang sampah yang setiap hari berkeliling komplek perumahan kami semenjak 15 tahun lalu. Selain mengambil sampah rumah tangga, pak karso juga menyapu jalan dan membersihkan selokan. Pokoknya, kebersihan lingkungan tempat tinggal kami adalah tanggung jawab pak karso. Pada mulanya, saya sering kesal, karena untuk ukuran seorang tukang sampah, pak karso jarang datang, masak, mengambil sampah dan membersihkan lingkungan cuma 3 hari sekali. Itupun termasuk bagus, kadang ia pulang kampung, dan baru kembali seminggu sesudahnya. Bisa dibayangkan bau sampah menumpuk, dan jalanan yang kotor merusak pemandangan. Yang membuat saya tambah kesal, ia sering meminjam uang ke kas erte, ada ada saja keperluannya, tapi pinjaman terbesar biasanya untuk keperluan sekolah anaknya, katanya. Kadang, saya kasihan melihat ia diam saja, tidak protes ketika gaji kecilnya dipotong pinjamannya. Tapi kekesalan saya melebihi rasa kasihan saya, karena kami semua terpaksa keluar uang extra untuk menyuruh orang lain membersihkan sampah dan jalan, setiap kali pak karso mangkir.Mau memberhentikan, kami semua tidak tega, begitulah , bertahun tahun kami terobang ambing antara rasa kesal dan kasihan kepada pak karso. Beberapa tahun lalu, pak karso lagi lagi sepeti biasa minta cuti lagi, kali ini katanya mau menghadiri wisuda anaknya yang nomer dua, yang bungsu.O, sudah kelar sekolahnya? tanya saya setengah kesal, karena sudah terbayang sampah yang bakal menggunung lagi. Ya bu, ini yang terakhir,...katanya pelan. Nah, anehnya, setelah itu, ia rajin masuk, tiap hari tidak pernah absen! Anak saya sudah kerja, katanya, yang besar sudah jadi guru , yang kecil juga sudah kerja, katanya dengan nada gembira.


Karena rajin masuk itu, maka banyak orang lain yang membarikannya kerja tambahan, dari tukang sampah erte kami, ia mulai juga menjadi tukang sampah erte erte tetangga. Anehnya, makin banyak pekerjaan, ia menjadi makin rajin, masuknya makin lama makin pagi, pulangnya makin sore, karena ada ada saja yang menyuruhnya memotong pohon, membersihkan halamannya dll dll. Bertahun tahun ia menjadi makin rajin, rasa kesal sayapun berganti menjadi simpati, setelah tahun bahwa hanya denga menjadi tukang sampah saja, ia berhasil meluluskan anak anaknya ke perguruan tinggi. Tidak hanya anak anak nya saja yang ia sekolahkan, tapi juga para keponakannya dan para keponakan istrinya.


Ia jarang mangkir, karena sekarang, menelpon dan mengirim uang kekampungnya sudah jauh lebih mudah. Tadi pagi, ia minta pinjaman uang lagi. Habis bagaimana bu, saya tidak punya uang, terpaksa pinjam erte tambahan buat uang masuk sekolah keponakan isteri saya lagi, ada yang putus sekolah lagi, orang tuanya sudah tidak sanggup lagi membiayai,... anak sekarang kan bu, kalau tidak sekolah kan bagaimana gitu,....lagipula bu,...saya tidak punya simpanan, simpanan saya ya buat akherat saja bu, menyekolahkan sebanyak banyaknya yang saya bisa,.....


Saya memandangi pak karso, sudah limabelas tahun saya mengenalnya,sudah belasan kali ia menghadap minta pinjaman uang, tapi kali ini, saya merasa kecil dihadapan pak karso,.... seseorang yang sudah punya simpanan banyak diakherat,....


Rabu, 24 Agustus 2011

Setanggi Timur.

Picture from; Rabindranath Tagore web.


Setanggi Timur.

Bukalah mata tuan dan lihatlah

ditempat petani meluku tanah yang keras

ditempat pembuat jalan meratakan batu

disitulah Tuhan

bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan

turunlah ketanah berdebu itu

seperti Dia

Bangkitlah dari samadi

hentikan meronce bunga dan membakar setanggi

meskipun pakaian tuan lusuh dan kotor

cari Dia dalam bekerja

dengan keringat dikening tuan.


(rabindranath Tagore, diangkat oleh J Sumardinata)

Selasa, 23 Agustus 2011

Arogan.

Picture from NYartist gallery.


'Anggap saja arogan adalah penyakit' kata umi suatu ketika, 'penyakit yang menyakitkan bagi orang orang sekelilingnya' kata umi lagi, ketika aku mengeluhkan seorang kenalan yang selalu merasa benar, meskipun kelakuannya jauh dari pantas, selalu terlambat, selalu senang membuat orang lain menunggunya,selalu mencari kesalahan orang , begitu aku mengeluh kepada umi.

'Arogan itu selalu menganggap dirinya yang paling benar,selalu ingin dihormati, dipuji, diperhatikan,menganggap orang lain selalu satu tingkat dibawahnya, entah tidak sebaik dirinya, tidak sepandai dirinya, tidak sekaya dirinya, pokoknya dalam pandangannya, dialah yang terbaik, makanya, biasanya orang yang arogan selalu tak pernah tepat waktu, ia senang membiarkan orang lain menunggu, ia menganggap orang lain pantas menunggunya, meskipun demikian,.....orang yang arogan pantas dikasihani, karena sebenarnya itu semua adalah topeng yang ia pakai untuk menutupi dirinya yang rapuh, sebenarnya ia penuh dengan macam macam ketakutan,makanya ia menutup diri, memasang tembok tinggi antara dirinya dengan orang lain, agar orang lain tidak dapat memasuki kehidupannya , tapi dengan demikian, ia juga tidak dapat keluar, ia tetap didalam dengan pemikirannya sendiri. Meskipun ia bercerita tentang banyak teman temannya, tentang prestasinya dan kemenangannya, tapi sebenarnya, ia sangat kesepian, sendirian,... kasihan bukan? Umi setengah bertanya setengah menjawabku. '

'Kamu tidak bisa berbuat apa apa baginya,lebih baik menjaga jarak dengannya bila kamu tidak mau lebih banyak disakiti,... kita cuma bisa berharap, satu saat ia akan melihat, betapa ia menyakiti banyak orang, betapa ia pucat dan rapuh tanpa topeng, betapa tembok tinggi yang ia bangun untuk melindungi dirinya, sebenarnya memisahkan dia dari kehidupan nyata,.... betapa sebenarnya ia cuma hidup dalam mimpi mimpinya yang ia percayai sebagai kenyataan,...kita berharap, ketika saat itu datang, ia akan menyadari bahwa tidak ada ilusi bahwa ia lebih tinggi, lebih baik, lebih pintar, lebih cantik, lebih kaya dan macam macam kelebihan.... kita semua sama,... apa yang kita punya semua cuma pinjaman sementara, cuma titipan,....' Umi tersenyum mengakhiri kata katanya, dan menyuruhku pulang.

Senin, 22 Agustus 2011

Nameless little flowers.

Picture from; Gettyimages.




Nameless little flower.


As I was returning home from cutting grass,a light rain was falling,


I saw flowers by the roadside, glistering with dewdrops


and wrote this poem,


wild flower


hither and thither


like lost buttons


scattered by the roadside


they do not have chrysanthemums


gold curls


nor peonies


dazzling looks


they have only small flowers


and thin weak leaves


yet their faint fragrance


is dissolved into beautiful spring day


my poems


are like this nameless little flower


following the wind and rain of the season


quietly blooming


in this lonely world.


(Gu Cheng,1971, Shandong)




Emak Hoe.

Picture from; Gettyimages.




Emak duduk dimuka jendela, memandang keluar, menghela nafas, lalu berkata, anakku sepuluh, ya sepuluh, semua dilahirkan dirumah kecil ini, dengan pertolongan bidan saja, bahkan yang nomer lima itu, karena bidan terlambat datang,sekarang jadi agak bodoh,...mak tertawa kecil, menunjuk anaknya yang nomer lima itu,...malahan kulitnya hitam, tidak seperti saudara saudara lainnya yang putih, sakit sakitan pula,......... mak tertawa kecil lagi,...


kusekolahkan semua anak anak dengan berjualan kue, sampai lulus semua, lalu masing masing bekerja, macam macam lah, ada yang berjualan gorden, kosmetik, makanan, ada yang bekerja di apotek, ada yang membuat roti, ... mak menghela nafas lagi,... setelah terkumpul uang, satu persatu mereka pergi dari kampung kecil ini,... ada yang kekota besar, bahkan banyak yang keluar negeri, ke amerika, ke australia, ke kanada,... semua pada pergi mencari peruntungannya sendiri sendiri, mencari masa depan yang lebih pasti, daripada di kampung kecil ini,.....


Setahun sekali, tiap menjelang tahun baru, mereka mengirimkan uang, untuk keperluan mak disini,...tapi mereka tidak pernah datang sendiri,.. tak apalah, asal mak tau mereka sudah senang, mak juga ikut senang,...lagipula, dikota besar, apalagi diluar negeri, mana mereka punya waktu untuk kesini,.... makan waktu lama, dan banyak beaya untuk datang kesini,....mata mak meamandang jauh, seakan menembus hujan yang mungkin turun juga di tempat tempat jauh seperti disebutkannya,....


Langit cukup adil dan baik kepada mak, lihat si nomer lima ini, dari kecil agak bodoh, sehingga tidak bisa sekolah tinggi seperti saudara saudaranya, tidak bisa bekerja terlalau lama, dia pusing kepala,....jadi, tinggalah dia disini bersama mak,... kulitnya yang gelap membuat tidak ada yang melirik, dia tidak menikah,...... dulu mak selalu khawatir dengan perkembangannya, mak selalu khawatir, si nomer lima tidak punya jodoh, mak sembahyang terus, tapi untunglah,... doa doa mak tidak terkabul,.... mak tersenyum, matanya bercahaya ,...kalau tidak, tak tahulah mak, siapa yang merawat mak diusia mak yang tua ini,.... mak tersenyum lagi,.....sekarang cuma kami berdua yang tinggal dirumah kecil yang tidak berubah, sekeliling rumah sudah jadi pabrik yang berisik, tapi biarpun di bujuk bujuk untuk menjualnya, mak tidak akan menjual rumah kecil ini,.... mak mau mati disini,........mak tersenyum menatap mataku,...


makanya nak,... tidak usah kuatir kalau doa doa tidak terkabul, Langit pasti punya maksud dan rencananya sendiri,... lihat mak ini, justru si nomer lima yang paling mak cemaskan masa depannya, sekarang jadi penopang mak, kaki dan tangan mak,... Langit memang punya rencananya sendiri nak,...setelah lima puluh lima tahun berlalu, mak baru tau maksud baik Langit,....


Sabtu, 20 Agustus 2011

Gu Cheng poems.

Picture of Gu Cheng (1954-1993)


The return.

don't go to sleep, don't

dear, the road is long yet

don't go too near

the forest's enticements, don't loose hope

write the address

in snowmelt of your hands
or lean on my shoulders

as we pass the hazy morning

lifting the transparent storm curtain

we'll arrive where we are from

a green disk of land

around an old pagoda

there I will guard

your weary dreams

and drive off the flocks of nights

leaving only bronze dim, and the sun

as beyond the pagoda

tiny waves quietly

crawl up the beach

and draw back trembling.

*

*

A headstrong boy.

I guess my mother spoiled me, I am a headstrong boy

I want every instant to be as lovely as my crayons

I'd like to draw, on a chaste white paper

a clumsy freedom, eyes that never wept

a piece of sky, a feather,a leaf,

a pale green evening, and an apple,

I'd like to draw dawn,the smile dew sees,

the earliest tenderest love,an imagined love,

who's never seen a mournful cloud,

whose ayes the color of the sky will gaze at me forever and

never turn away,

I'd like to draw distance,a bright horizon,

carefree ,rippling rivers, hills sheathed in green furs,

I want the lovers to stand together in silence,

I want each breathless moment to beget a flower,

I want to draw a future I've never seen, nor ever can,

though I'm sure she'll be beautiful,

I'll draw her an autumn coat the color of flame,

and maple leaves,

and all the hearts that ever loved her,

I'll draw her a wedding, an early morning garden party,

swatched in candy wrapper decked with winter scenes.

I'm a headstrong boy. I want to paint out every sorrow

to cover the world with colored windows

let all the eyes accustomed to darkness, be accustomed to light,

I want to draw wind, mountains, each time bigger than the last,

I want to draw dreams of the east,

a fathomless sea, a joyful voice.

Finally I'd like to draw myself in one corner, a panda-

huddled in dark victorian forest

hunkering in the quiet branches, homeless, lost,

not even a heart left behind me,

far away, only teeming dreams of berries,

a great wide eyes,

But I didn't have any crayons, any breathless moments,

all I have are fingers and pain,

I think I'll tear this paper to bits,

and let them drift away,

hunting for butterflies.


Abou Ben Adhem.

Picture From; Gettyimages.


Puisi Abou Ben Adhem.

(Oleh James Henry Leigh Hunt.)


Pada suatu malam Abou Ben Adhem terjaga dari tidurnya,


Diterangi sinar rembulan, ia melihat malaikat yang bercahaya, menuliskan sesuatu dalam buku emas,

Dalam kedamaian Ben Adhem merunduk dan bertanya,

'Apa yang kau tulis?'

Yang ditatap mengangkat kepala dan dengan merdu menjawab,

"Nama nama para pencinta Allah"

'Apakah namaku ada diantaranya ?'tanya Abou,

"Tidak ada" jawab malaikat,

Abou merendahkan suaranya, dan dengan nada tetap riang, ia berkata,

'Jika demikian, mohon sudilah menuliskan namaku sebagai pencinta sesama manusia'

Malaikat menulisnya kemudian menghilang.

Malam berikutnya, ia datang kembali dengan cahaya yang lebih gemilang,serta menunjukkan nama nama yang diberkati oleh Cinta Allah, dan, lihat! Nama Abou dituliskan diatas nama nama lainnya.










(Ibrahim Bin Adham, juga dikenal sebagai Abou Ben Adhem, wafat 777,adalah seorang mistikus sufi)











Jumat, 19 Agustus 2011

Diam.

Picture from; Gettyimages.


Yang selalu saya inginkan adalah ketenangan. Dulu, saya setiap akhir pekan atau ada tanggal merah, saya lari dari kesibukan kota besar, dan menyepi di pegunungan atau dipinggir pantai yang jauh dari keramaian.

Tidak melakukan apa apa, doing nothing, saya hanya mengamati alam, mengamati laut, merasakan angin, hujan, awan berarak dll. Tapi, bahkan ditempat terpencil ada ada saja gangguan, penjaja makanan atau barang menawarkan dagangannya, tamu tamu lain di hotel yang riuh rendah, remaja dan anak anak berteriak kegirangan, yang meskipun saya ikut tersenyum melihat semua, tapi kesunyian terhenti sejenak. Lama kelamaan kesunyian di tempat tempat terpencil terganggu bukan oleh suara lain, melainkan oleh suara didalam kepala saya sendiri, terutama jika sedang banyak persoalan.Jadi, bahkan ditempat sunyipun, saya bisa merasa hiruk pikuk dalam kepala saya.

Diam bisa didapatkan dengan 2 cara; diam, yang berarti mulut berhenti berbicara, dan diam, yang berarti pikiran berhenti memikirkan segala sesuatu, hening saja.

Belajar diam saya mulai dengan diam tidak berbicara, kecuali seperlunya saja. Ada kalanya mulut hendak berkomentar, tapi saya menahan diri untuk tidak berkomentar. Saya belajar mengganti ber kata kata dengan senyuman saja. Bersamaan denga proses diam dimulut itu, saya belajar meditasi , proses mendiamkan pikiran.

kedua proses belajar berjalan lambat, pelan pelan, setiap kali harus mengusahakan sabar, toleransi, dan kasih. Sebuah proses belajar yang tidak mudah, yang harus dilakukan setiap hari, tidak peduli sedang 'in' atau tidak, saya mengharuskan diri saya sendiri untuk diam, dan meditasi, proses belajar diam dihati.

Proses belajar saya sudah berlangsung sepuluh tahun, tapi saya masih merasa harus terus belajar. Tapi saya tahu, ada perubahan, karena saya tidak usah lagi lari ke pegunungan atau pantai terpencil, saya cukup membentangkan tikar dan bantal untuk meditasi, dan menikmati diam dan hening. Dalam setiap percakapan atau berkumpul, saya cukup menikmati kebersamaan, dan memperhatikan orang orang lain, menikmati suasana,dalam menjawab, saya lebih banyak meng iya kan atau senyum saja, saya membalas sapaan atau bertanya, kadang hanya untuk sopan santun saja. Diam itu ternyata sangat damai.

Dengan damai dihati, hidup yang biasa biasa saja menjadi terasa luar biasa, (bukan sekedar slogan dimulut saja), segalanya menjadi lebih indah, bening dan bercahaya.

Dan yang lebih menyenangkan, diam dan hening bisa dilakukan dimana saja, bahkan didalam pasar yang ramai sekalipun, cukup konsentrasi ke nafas saja, tiba tiba semuanya menjadi hening.

"We need silence to be able to touch souls"

(Mother Teresa)

Selasa, 16 Agustus 2011

Keseimbangan.

Picture from; Gettyimages.


Hidup adalah tentang keseimbangan. Tapi, keseimbangan buat tiap orang itu berbeda beda. Tidak ada yang sama. Juga, keseimbangan itu berbeda dari waktu ke waktu. Misalnya, pada waktu muda, boleh boleh saja kita punya jadwal hidup padat, dari pagi, kerja, sore, olahraga, dilanjutkan dengan pesta, pulang menjelang pagi, dilanjutkan dengan kerja lagi. Tapi semakin beranjak tua, keseimbangan otomatis berubah, jadwal padat seperti pada waktu masih muda, harus diimbangi dengan istirahat, kalau tidak, bisa sakit.

Sakit, adalah cara badan menyeimbangkan dirinya sendiri. Selain sakit badan, banyak juga orang yang sakit pada badan yang tidak kelihatan. Kecewa, emosi tinggi, marah marah, stress, depresi, ketakutan, benci, dendam,sakit pada pikiran, pada ingatan, adalah beberapa diantaranya.Semua adalah masalah keseimbangan.

Setiap kegiatan selayaknya diimbangi dengan istirahat. Bahkan berpikirpun harus ada waktu istirahatnya. Stress adalah tanda bahwa pikiran minta istirahat untuk menyeimbangkan pikiran.

Untuk menjadi utuh, kita perlu tahu kedua kutub keseimbangan. Untuk itulah kita merasa kecewa, supaya kita tahu bersyukur, kita perlu kalah supaya bisa mensyukuri kemenangan, perlu sakit supaya menghargai kesehatan,perlu kejahatan, supaya bisa menghargai kebaikan,perlu ribut, supaya bisa menghargai ketenangan,perlu gelap, supaya bisa menghargai terang, perlu hujan, supaya bisa mensyukuri panas, dll dll. semua hal yang terjadi pada hidup kita memang kita perlukan untuk keseimbangan diri kita sendiri.Semua diberikan Semesta supaya kita mengerti kedua kutub kehidupan, dan menjadikan kita manusia yang utuh dan seimbang.

Masalahnya, kita ingin semua baik, tanpa ada yang jahat, ingin semua sehat, tanpa ada sakit, ingin semua sukses tanpa ada yang gagal, padahal semua diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Kita ingin jalan pintas, cepat cepat menghilangkan apa apa yang kita tidak suka, padahal, itulah yang sebenarnya kita perlukan. Dalam bahasa Khalil Gibran, semua yang kita tidak sukai, itulah guru sejati kita. Dari situlah kita belajar menjadi seimbang. Menjadi utuh.



Jumat, 12 Agustus 2011

Berjalan perlahan.

Picture; From ZenLife.


Saya suka jalan pagi. Juga suka ber jalan jalan. Entah berbelanja, ataupun ke tempat tempat yang bisa dicapai dengan berjalan kaki.Dulu, saya berjalan cepat, secepat yang saya bisa. Mengikuti kata dokter dan para pakar kesehatan, jalan cepat bisa mengikis lemak dibadan, juga baik baik bagi kesehatan jantung, cardio, katanya. Berjalan cepat bersama teman teman tidak terasa melelahkan, sambil berjalan cepat, kadang pelan sedikit, bisa berbincang dan bergosip ria. Biarpun keringat bercucuran, tapi anehnya terasa segar. Berjalan sendirianpun dulu, saya cenderung cepat. Sambil berjalan, memikirkan tujuan.Sudah tentu, berjalannya tidak pernah dipikirkan, dinikmati, karena ada macam macam hal didalam pikiran.

Ketika isi pikiran semakin banyak, karena persoalan semakin banyak dan tak kunjung selesai, berjalan terasa tidak nikmat lagi. Stress menumpuk, menyebabkan depresi. Ketika itulah saya membaca buku Thich Nhat Hanh tentang mindfulness walking. Kata beliau, walk as if your feet are kissing the earth.

Berjalan seakan kaki kita mencuim bumi yang dipijak. Mencium tentu saja tidak bisa cepat cepat dan kuat kuat. Selayaknya mencium, tentu harus dengan lembut dan penuh perasaan mengasihi.Pelan pelan.

Lalu saya merubah cara jalan saya. Saya mulai berjalan pelan pelan.

Mencoba menapakkan kaki dengan lembut. Merasakan tiap langkah. Merasakan nafas bersama tiap ayunan kaki. Mengatur pandangan mata kepermukaan bumi, kira kira 2 meter saja didepan.Begitu saya mencoba berjalan dengan langkah baru.

Lalu perubahan terjadi didalam kepala saya. Stress yang menggunung berangsur hilang. Perasaan menjadi tenang. Damai.

Dan herannya, ketika perasaan menjadi damai, tenang, segalanya kelihatan berbeda. Segalanya kelihatan lebih terang dan indah. Padahal semua tetap sama. Cuma cara jalan saya saja yang beda. Saya berjalan disaat kini. Menikmati saat kini sambil berjalan pelan pelan. Saya tidak lagi memikirkan ini dan itu. Saya cuma memikirkan langkah saya, menjaga supaya pelan dan lembut. Merasakan tiap nafas saya supaya seiring seirama dengan langkah kaki. Begitu saja.

Sambil menikmati jalan pelan pelan saya tersenyum. Tersenyum kepada angin , kepada daun daun, bunga bunga , tersenyum kepada apa saja, siapa saja.

Kadang kita merasa senang, lalu kita tersenyum, tapi kadang kita harus tersenyum supaya kita bisa merasa senang.

Jadi saya biasakan juga untuk tersenyum. Herannya, begitu saya tersenyum kepada apa saja, siapa saja, saya merasa seluruh dunia tersenyum kembali kepada saya. Benar benar menyenangkan!



Lumpur.

Picture from; Gettyimages.


Seorang teman berkata, ' saya sangat mengasihinya, begitu memperhatikan dia, tapi dia membuat saya kecewa....' Hidup seperti air mengalir, kadang melewati batu batuan, kadang naik, kadang turun. Begitu juga dengan hubungan, ada saat sangat mengasihi, ada saat kecewa, ada saat membenci. Jangan memutuskan hubungan pada saat kecewa dan benci, karena hidup akan masih terus mengalir seperti air.

Hazrat Inayat Khan berkata, jika kita menghendaki air yang jernih dan bening, kita harus menggali tanah lebih dalam. Kadang, dalam menggali itu, kita kecewa, karena yang keluar bukannya air yang bening, melainkan lumpur yang kotor. Kita tidak boleh berhenti disitu. Kita harus tetap menggali, karena setelah melewati lapisan lumpur yang kotor itu, kemungkinan besar kita akan menemukan air yang bening.

Bagaimana jika tidak menemukan air yang bening? Kita tetap menggali, karena kita punya harapan. Kita tidak tau apa yang akan terjadi didepan. Kita patut berusaha sekuat tenaga. Berusaha dengan penuh sabar, sampai menemukan air yang bening.Kalaupun tidak menemukan air yang bening sepeerti yang kita harapkan, paling tidak kita sudah berusaha dan belajar memperpanjang sabar. Dan air itu pasti akan ditemukan, cuma, bening atau kurang bening, tergantung cara kita mensyukurinya.

Teman itu berkata lagi, 'tapi saya sudah memberikan sepenuh diri dan waktu saya untuknya, coba lihat apa yang saya dapat sebagai balasan darinya,... sungguh membuat saya kecewa....'

Memberikan sebuah apel dan mengharapkan dua apel sebagai balasannya bukanlah mengasihi, tapi mencari keuntungan, atau bisnis. Mengasihi adalah memberi dan tak berharap kembali. Mengasihi adalah berkorban. Dan berkorban berarti melupakan diri sendiri.

Melupakan diri sendiri adalah mensyukuri apa yang ada, bukannya mengharapkan apa yang tidak ada. Bukannya mengharapkan kasih sayang seperti di filem filem atau drama. Kita mensyukuri saja apa yang kita punya, bukan yang kita inginkan. Dengan demikian kita belajar mengurangi ego, dan mengedepankan syukur.

Kita akan lebih bahagia apabila kita bisa mensyukuri apa yang kita punyai, bukan apa yang kita inginkan.



Kamis, 11 Agustus 2011

Ibu selalu menyertaimu.

Picture; From my paintings.


Ibu selalu menyertaimu.


Ibumu adalah bisikan daun daun ketika kau berjalan mencari angin,

Ia adalah aroma segar kaus kakimu yang tercuci bersih,

Ibumu hidup dalam tawamu,

Dan mengkristal dalam tiap tetesan air matamu,

Ibumu adalah tempat tinggalmu yang pertama,

Dari ibulah kamu datang,

Dia adalah peta yang menuntun setiap langkahmu,

Dia adalah cintamu yang pertama,

Dan patah hatimu yang pertama,

Tak ada yang dapat memisahkanmu dengan ibu,

Tidak jarak,

Tidak waktu,

Tidak juga kematian,

Kemanapun engkau pergi,

engkau akan selalu membawa ibu dalam dirimu.


(Sherry Martin; Mother is always with you.

terjemahan oleh Sindhunata.)

Memaafkan dan melupakan.

Picture from; Gettyimages.


Sakit hati. Kita semua pernah merasakan yang namanya sakit hati dalam berbagai tingkatan. Pada tingkat terendah, seiring waktu berlalu, kita akan lupa dengan sendirinya. Pada tingkat menengah, perlu bertahun tahun untuk menetralkannya. Sakit hati pada tingkat yang lebih dalam bisa menjadi dendam yang dibawa bawa seumur hidup.

Padahal, semua kebijakan melarang sakit hati. Semua kebijakan menganjurkan memaafkan dan melupakan sakit hati. To forgive and to forget. Tapi, itu lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. Meskipun mulut menyatakan, 'saya sudah memaafkannya,...' tapi dalam hati siapa tahu? Herannya, sakit hati hanya bisa diakibatkan oleh orang orang yang dekat dengan kita. Dikecewakan oleh orang orang yang kita sayangi dan kita peduli. Jika dilakukan oleh orang jauh,... kita tidak bakalan sakit hati. Kita bahkan tak peduli.

Karena diakibatkan oleh orang orang yang dekat dihati, makanya dianjurkan untuk bisa memaafkan, dan melupakan. Supaya tidak membawa bawa beban berat setiap kali teringat kembali, dan membuka luka yang pernah terjadi. Supaya meringankan langkah dalan hidup kita sendiri. Tapi ya itu,..... biarpun kita bilang berkali kali kita sudah memaafkan, sudah melupakan, sudah bersalam salaman,tapi dihati masih saja ada rasa perih. Tiap kali teringat, hati merasa pedih. Lalu kita berusaha melupakannya lagi, lagi, dan lagi.

Melupakan sakit hati baru sempurna, cuma jika tiap kali teringat, tidak ada lagi rasa pedih dan perih dihati. Jika bisa menceritakannya lagi tanpa emosi, seakan cerita orang lain saja. Cuma pada titik itu, kita tahu, kita sudah bisa melupakan sakit hati.



Senin, 08 Agustus 2011

Melihat dengan hati.

Picture; From Gettyimages.


Kita mengenal banyak orang. pada mulanya semua kelihatan baik baik dan hebat hebat . lama kelamaan, setelah banyak berbincang barulah terasa perbedaannya.

Hazrat Inayat Khan menuturkan, "suatu waktu ia berbincang dengan seorang profesor, intelektual terkenal, yang tertarik masalah masalah spiritual. Karena menemukan banyak kecocokan, maka ia hendak memperkenalkan sang profesor dengan gurunya. Bertanyalah ia, apakah sang profesor kenal dengan bapak X di kota Y? O ya, kata sang profesor, ia kenal, tapi apa hebatnya bapak X itu? kata sang profesor lagi, duapuluh tahun ia mengenal bapak X dikota Y itu, tapi ia merasa biasa biasa saja. Hazrat Inayat Khan terdiam. Katanya dalam hati, seratus tahunpun ia mengenal gurunya, ia tidak bakal mendapatkan pelajaran apa apa. Karena ia melihat dengan pikirannya, sedangkan saya melihatnya dengan hati."

Kebanyakan orang, seperti sang profesor. Melihat segala persoalan hidup dengan logika, intelektual, maka hidup terasa jadi kompleks, sulit dan berbelit. padahal jika melihat dengan hati, meninggalkan pemikiran kita sendiri, semua akan terlihat jernih dan bening. Akan kelihatan bahwa tiap persoalah membawa 'pelajaran' yang membuat kita jadi lebih bijak. akan terlihat dengan jelas mana orang yang bijak, mana yang kurang bijak. Mana yang bisa melihat dengan hati, mana yang mengedepankan pemikirannya sendiri.

Tidak perlu pintar, pandai ataupun intelektual untuk bisa melihat dengan hati. Asal kita mau sediakan waktu hening setiap hari, meniadakan ego, mengedepankan kerendahan hati,pelan pelan hati akan bertambah jernih. Ketika hati jernih, barulah kita bisa melihat dengan hati.

Seperti sari jus didalam botol, ketika didiamkan beberapa saat, maka bagian yang keruh akan mengendap kebawah, bagian yang bening akan ada dipermukaan. Begitu juga dengan hati, ketika kita hening, diam, bagian yang keruh akan mengendap, dan permukaan hati akan jernih dan bening.