Jumat, 26 Agustus 2011

Pohon pohon.

Picture from network.com.


Setiap pagi, ketika berjalan jalan, saya selalu terpesona melihat pohon pohon besar yang sudah tumbuh sekitar 50 tahun . Ada masa masa dimana pohon pohon itu ditebangi, karena warga takut pohon pohon itu roboh kena angin kencang, karena pohon pohon itu sudah tua, tetapi yang menakjubkan, pohon pohon itu selalu tumbuh dan bersemi kembali, besar kembali seperti semula, bahkan lebih rimbun dari sebelumnya. Dibawah keteduhan pohon pohon itulah para pejalan kaki melepaskan penatnya barang sejenak setiap hari. Keteduhan pohon pohon itu adalah hiburan bagi mereka.

Pohon pohon itu juga adalah tempat tinggal bagi ratusn burung burung yang berkicau setiap subuh hari, memberi salam kepada hari yang akan lewat, ratusan burung burung itu memberi kebahagiaan bagi semua warga penghuni.

Hidup selayaknya tumbuh seperti pohon pohon itu. Menyerap energi matahari untuk bertumbuh, tidak takut akan hujan badai, berhembus kemana angin meniupnya,berkawan dengan awan yang lewat, ceria ketika pagi datang, tenang ketika malam menyapa.

Hidup selayaknya tegar seperti pohon pohon itu, teguh kerakar kedalam, bergembira maupun mengeluh dalam diam, tetap tumbuh pelan pelan,menyambut gembira setiap musim yang datang, musim semi, musim panas, musim hujan, maupun musim rontok.

Hidup selayaknya ramah seperti pohon pohon itu, memberikan keteduhan bagi siapa saja yang lewat, menjadi kediaman bagi burung burung dan ratusan serangga kecil.

Hidup selayaknya hening seperti pohon pohon itu, tanpa bersuara terus tumbuh keatas maupun kedalam, membiarkan ribuan daun daun bersuara gemerisik ditiup angin, membiarkan bunyi serangga dan burung berkicauan, dan dahan berderit derit gembira diayun angin.

Hidup selayaknya meniru pohon pohon itu, karena kita tinggal dan tumbuh ditanah yang sama, kenapa kita banyak mencela, sedangkan pohon pohon itu terus bersyukur dan selalu ceria?

Kamis, 25 Agustus 2011

Pak Karso.

Picture from; Kompasiana.com.




Pak karso adalah tukang sampah yang setiap hari berkeliling komplek perumahan kami semenjak 15 tahun lalu. Selain mengambil sampah rumah tangga, pak karso juga menyapu jalan dan membersihkan selokan. Pokoknya, kebersihan lingkungan tempat tinggal kami adalah tanggung jawab pak karso. Pada mulanya, saya sering kesal, karena untuk ukuran seorang tukang sampah, pak karso jarang datang, masak, mengambil sampah dan membersihkan lingkungan cuma 3 hari sekali. Itupun termasuk bagus, kadang ia pulang kampung, dan baru kembali seminggu sesudahnya. Bisa dibayangkan bau sampah menumpuk, dan jalanan yang kotor merusak pemandangan. Yang membuat saya tambah kesal, ia sering meminjam uang ke kas erte, ada ada saja keperluannya, tapi pinjaman terbesar biasanya untuk keperluan sekolah anaknya, katanya. Kadang, saya kasihan melihat ia diam saja, tidak protes ketika gaji kecilnya dipotong pinjamannya. Tapi kekesalan saya melebihi rasa kasihan saya, karena kami semua terpaksa keluar uang extra untuk menyuruh orang lain membersihkan sampah dan jalan, setiap kali pak karso mangkir.Mau memberhentikan, kami semua tidak tega, begitulah , bertahun tahun kami terobang ambing antara rasa kesal dan kasihan kepada pak karso. Beberapa tahun lalu, pak karso lagi lagi sepeti biasa minta cuti lagi, kali ini katanya mau menghadiri wisuda anaknya yang nomer dua, yang bungsu.O, sudah kelar sekolahnya? tanya saya setengah kesal, karena sudah terbayang sampah yang bakal menggunung lagi. Ya bu, ini yang terakhir,...katanya pelan. Nah, anehnya, setelah itu, ia rajin masuk, tiap hari tidak pernah absen! Anak saya sudah kerja, katanya, yang besar sudah jadi guru , yang kecil juga sudah kerja, katanya dengan nada gembira.


Karena rajin masuk itu, maka banyak orang lain yang membarikannya kerja tambahan, dari tukang sampah erte kami, ia mulai juga menjadi tukang sampah erte erte tetangga. Anehnya, makin banyak pekerjaan, ia menjadi makin rajin, masuknya makin lama makin pagi, pulangnya makin sore, karena ada ada saja yang menyuruhnya memotong pohon, membersihkan halamannya dll dll. Bertahun tahun ia menjadi makin rajin, rasa kesal sayapun berganti menjadi simpati, setelah tahun bahwa hanya denga menjadi tukang sampah saja, ia berhasil meluluskan anak anaknya ke perguruan tinggi. Tidak hanya anak anak nya saja yang ia sekolahkan, tapi juga para keponakannya dan para keponakan istrinya.


Ia jarang mangkir, karena sekarang, menelpon dan mengirim uang kekampungnya sudah jauh lebih mudah. Tadi pagi, ia minta pinjaman uang lagi. Habis bagaimana bu, saya tidak punya uang, terpaksa pinjam erte tambahan buat uang masuk sekolah keponakan isteri saya lagi, ada yang putus sekolah lagi, orang tuanya sudah tidak sanggup lagi membiayai,... anak sekarang kan bu, kalau tidak sekolah kan bagaimana gitu,....lagipula bu,...saya tidak punya simpanan, simpanan saya ya buat akherat saja bu, menyekolahkan sebanyak banyaknya yang saya bisa,.....


Saya memandangi pak karso, sudah limabelas tahun saya mengenalnya,sudah belasan kali ia menghadap minta pinjaman uang, tapi kali ini, saya merasa kecil dihadapan pak karso,.... seseorang yang sudah punya simpanan banyak diakherat,....


Rabu, 24 Agustus 2011

Setanggi Timur.

Picture from; Rabindranath Tagore web.


Setanggi Timur.

Bukalah mata tuan dan lihatlah

ditempat petani meluku tanah yang keras

ditempat pembuat jalan meratakan batu

disitulah Tuhan

bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan

turunlah ketanah berdebu itu

seperti Dia

Bangkitlah dari samadi

hentikan meronce bunga dan membakar setanggi

meskipun pakaian tuan lusuh dan kotor

cari Dia dalam bekerja

dengan keringat dikening tuan.


(rabindranath Tagore, diangkat oleh J Sumardinata)

Selasa, 23 Agustus 2011

Arogan.

Picture from NYartist gallery.


'Anggap saja arogan adalah penyakit' kata umi suatu ketika, 'penyakit yang menyakitkan bagi orang orang sekelilingnya' kata umi lagi, ketika aku mengeluhkan seorang kenalan yang selalu merasa benar, meskipun kelakuannya jauh dari pantas, selalu terlambat, selalu senang membuat orang lain menunggunya,selalu mencari kesalahan orang , begitu aku mengeluh kepada umi.

'Arogan itu selalu menganggap dirinya yang paling benar,selalu ingin dihormati, dipuji, diperhatikan,menganggap orang lain selalu satu tingkat dibawahnya, entah tidak sebaik dirinya, tidak sepandai dirinya, tidak sekaya dirinya, pokoknya dalam pandangannya, dialah yang terbaik, makanya, biasanya orang yang arogan selalu tak pernah tepat waktu, ia senang membiarkan orang lain menunggu, ia menganggap orang lain pantas menunggunya, meskipun demikian,.....orang yang arogan pantas dikasihani, karena sebenarnya itu semua adalah topeng yang ia pakai untuk menutupi dirinya yang rapuh, sebenarnya ia penuh dengan macam macam ketakutan,makanya ia menutup diri, memasang tembok tinggi antara dirinya dengan orang lain, agar orang lain tidak dapat memasuki kehidupannya , tapi dengan demikian, ia juga tidak dapat keluar, ia tetap didalam dengan pemikirannya sendiri. Meskipun ia bercerita tentang banyak teman temannya, tentang prestasinya dan kemenangannya, tapi sebenarnya, ia sangat kesepian, sendirian,... kasihan bukan? Umi setengah bertanya setengah menjawabku. '

'Kamu tidak bisa berbuat apa apa baginya,lebih baik menjaga jarak dengannya bila kamu tidak mau lebih banyak disakiti,... kita cuma bisa berharap, satu saat ia akan melihat, betapa ia menyakiti banyak orang, betapa ia pucat dan rapuh tanpa topeng, betapa tembok tinggi yang ia bangun untuk melindungi dirinya, sebenarnya memisahkan dia dari kehidupan nyata,.... betapa sebenarnya ia cuma hidup dalam mimpi mimpinya yang ia percayai sebagai kenyataan,...kita berharap, ketika saat itu datang, ia akan menyadari bahwa tidak ada ilusi bahwa ia lebih tinggi, lebih baik, lebih pintar, lebih cantik, lebih kaya dan macam macam kelebihan.... kita semua sama,... apa yang kita punya semua cuma pinjaman sementara, cuma titipan,....' Umi tersenyum mengakhiri kata katanya, dan menyuruhku pulang.

Senin, 22 Agustus 2011

Nameless little flowers.

Picture from; Gettyimages.




Nameless little flower.


As I was returning home from cutting grass,a light rain was falling,


I saw flowers by the roadside, glistering with dewdrops


and wrote this poem,


wild flower


hither and thither


like lost buttons


scattered by the roadside


they do not have chrysanthemums


gold curls


nor peonies


dazzling looks


they have only small flowers


and thin weak leaves


yet their faint fragrance


is dissolved into beautiful spring day


my poems


are like this nameless little flower


following the wind and rain of the season


quietly blooming


in this lonely world.


(Gu Cheng,1971, Shandong)




Emak Hoe.

Picture from; Gettyimages.




Emak duduk dimuka jendela, memandang keluar, menghela nafas, lalu berkata, anakku sepuluh, ya sepuluh, semua dilahirkan dirumah kecil ini, dengan pertolongan bidan saja, bahkan yang nomer lima itu, karena bidan terlambat datang,sekarang jadi agak bodoh,...mak tertawa kecil, menunjuk anaknya yang nomer lima itu,...malahan kulitnya hitam, tidak seperti saudara saudara lainnya yang putih, sakit sakitan pula,......... mak tertawa kecil lagi,...


kusekolahkan semua anak anak dengan berjualan kue, sampai lulus semua, lalu masing masing bekerja, macam macam lah, ada yang berjualan gorden, kosmetik, makanan, ada yang bekerja di apotek, ada yang membuat roti, ... mak menghela nafas lagi,... setelah terkumpul uang, satu persatu mereka pergi dari kampung kecil ini,... ada yang kekota besar, bahkan banyak yang keluar negeri, ke amerika, ke australia, ke kanada,... semua pada pergi mencari peruntungannya sendiri sendiri, mencari masa depan yang lebih pasti, daripada di kampung kecil ini,.....


Setahun sekali, tiap menjelang tahun baru, mereka mengirimkan uang, untuk keperluan mak disini,...tapi mereka tidak pernah datang sendiri,.. tak apalah, asal mak tau mereka sudah senang, mak juga ikut senang,...lagipula, dikota besar, apalagi diluar negeri, mana mereka punya waktu untuk kesini,.... makan waktu lama, dan banyak beaya untuk datang kesini,....mata mak meamandang jauh, seakan menembus hujan yang mungkin turun juga di tempat tempat jauh seperti disebutkannya,....


Langit cukup adil dan baik kepada mak, lihat si nomer lima ini, dari kecil agak bodoh, sehingga tidak bisa sekolah tinggi seperti saudara saudaranya, tidak bisa bekerja terlalau lama, dia pusing kepala,....jadi, tinggalah dia disini bersama mak,... kulitnya yang gelap membuat tidak ada yang melirik, dia tidak menikah,...... dulu mak selalu khawatir dengan perkembangannya, mak selalu khawatir, si nomer lima tidak punya jodoh, mak sembahyang terus, tapi untunglah,... doa doa mak tidak terkabul,.... mak tersenyum, matanya bercahaya ,...kalau tidak, tak tahulah mak, siapa yang merawat mak diusia mak yang tua ini,.... mak tersenyum lagi,.....sekarang cuma kami berdua yang tinggal dirumah kecil yang tidak berubah, sekeliling rumah sudah jadi pabrik yang berisik, tapi biarpun di bujuk bujuk untuk menjualnya, mak tidak akan menjual rumah kecil ini,.... mak mau mati disini,........mak tersenyum menatap mataku,...


makanya nak,... tidak usah kuatir kalau doa doa tidak terkabul, Langit pasti punya maksud dan rencananya sendiri,... lihat mak ini, justru si nomer lima yang paling mak cemaskan masa depannya, sekarang jadi penopang mak, kaki dan tangan mak,... Langit memang punya rencananya sendiri nak,...setelah lima puluh lima tahun berlalu, mak baru tau maksud baik Langit,....


Sabtu, 20 Agustus 2011

Gu Cheng poems.

Picture of Gu Cheng (1954-1993)


The return.

don't go to sleep, don't

dear, the road is long yet

don't go too near

the forest's enticements, don't loose hope

write the address

in snowmelt of your hands
or lean on my shoulders

as we pass the hazy morning

lifting the transparent storm curtain

we'll arrive where we are from

a green disk of land

around an old pagoda

there I will guard

your weary dreams

and drive off the flocks of nights

leaving only bronze dim, and the sun

as beyond the pagoda

tiny waves quietly

crawl up the beach

and draw back trembling.

*

*

A headstrong boy.

I guess my mother spoiled me, I am a headstrong boy

I want every instant to be as lovely as my crayons

I'd like to draw, on a chaste white paper

a clumsy freedom, eyes that never wept

a piece of sky, a feather,a leaf,

a pale green evening, and an apple,

I'd like to draw dawn,the smile dew sees,

the earliest tenderest love,an imagined love,

who's never seen a mournful cloud,

whose ayes the color of the sky will gaze at me forever and

never turn away,

I'd like to draw distance,a bright horizon,

carefree ,rippling rivers, hills sheathed in green furs,

I want the lovers to stand together in silence,

I want each breathless moment to beget a flower,

I want to draw a future I've never seen, nor ever can,

though I'm sure she'll be beautiful,

I'll draw her an autumn coat the color of flame,

and maple leaves,

and all the hearts that ever loved her,

I'll draw her a wedding, an early morning garden party,

swatched in candy wrapper decked with winter scenes.

I'm a headstrong boy. I want to paint out every sorrow

to cover the world with colored windows

let all the eyes accustomed to darkness, be accustomed to light,

I want to draw wind, mountains, each time bigger than the last,

I want to draw dreams of the east,

a fathomless sea, a joyful voice.

Finally I'd like to draw myself in one corner, a panda-

huddled in dark victorian forest

hunkering in the quiet branches, homeless, lost,

not even a heart left behind me,

far away, only teeming dreams of berries,

a great wide eyes,

But I didn't have any crayons, any breathless moments,

all I have are fingers and pain,

I think I'll tear this paper to bits,

and let them drift away,

hunting for butterflies.